Di tengah sebagian besar petani galau menghadapi kenaikan
harga eceran tertinggi pupuk kimia bersubsidi pada April 2010, petani warga
Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, justru
gembira menanti kenaikan HET. Mereka adalah petani padi semiorganik.
Kami tidak khawatir kenaikan harga pupuk,� kata Suherman,
petani warga RT 02 RW 01, Desa Karanglo, Rabu (17/2).
Suherman adalah petani padi semiorganik yang menggarap
sawah tiga pathok, atau setara 0,6 hektar. Dua pathok lahan sendiri, satu
pathok lainnya menggarap milik tetangganya.
Optimisme juga diungkapkan Sumedi (46), petani Karanglo,
yang menggarap lahan dua pathok, atau 3.200 meter persegi.
Keberanian Suherman, Sumedi, dan petani lain di Karanglo
beralih menjadi petani padi semiorganik sejak Februari 2009 telah membuahkan
hasil. Pendapatan mereka meningkat.
Bila sebelumnya satu pathok sawah hanya menghasilkan
4,5-5 kuintal beras, dengan pupuk organik dapat menghasilkan 5-5,5 kuintal.
Harga beras yang mereka produksi pun lebih tinggi, yakni Rp 7.000 per kilogram,
padahal beras biasa hanya Rp 5.000 per kilogram.
Petani tak lagi bergantung pada pupuk kimia atau
anorganik. Jika sebelumnya petani membutuhkan 100 kilogram urea per pathok,
kini dengan pupuk organik hanya dibutuhkan 40 kilogram urea, ditambah pupuk
organik 700 kilogram.
Pada musim tanam kedua, kebutuhan pupuk organik 700
kilogram dan urea hanya 20 kilogram. Pada musim tanam ketiga, pupuk anorganik
sudah tidak lagi dibutuhkan.
Khawatir
Kemauan petani Karanglo beralih ke pupuk organik berawal
dari kekhawatiran terhadap rencana pemerintah mengurangi subsidi pupuk
anorganik, yang mulai digulirkan 2010.
�Bila HET (harga eceran tertinggi) pupuk naik, pasti
biaya produksi akan membengkak, pendapatan kami akan turun. Kalau kami
memberanikan diri mengurangi pupuk kimia atau menggunakan pupuk kimia dalam
volume yang sama, bisa dipastikan pendapatan juga akan turun,� kata Juwandi, Ketua
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Mulyo.
Apalagi, lanjut Juwandi, semakin banyak petani di
Karanglo yang hanya petani penggarap. Luas lahan pertanian di desa itu 73,96
hektar, atau sekitar 434 pathok. Dari lahan tersebut, sekitar 56,1 hektar atau 76 persen
digarap 157 petani penggarap.
Sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah tiga perempat
dari total nilai penjualan untuk pemilik lahan. Sementara petani penggarap
hanya mendapat seperempat dari total nilai penjualan.
Pemilik lahan mendapatkan bagi hasil yang lebih besar
karena mereka harus menanggung biaya pupuk dan benih. Lantas, bagaimana kalau
HET pupuk bersubsidi naik dan petani masih bergantung pada pupuk anorganik,
dapat dipastikan pendapatan akan jauh berkurang.
Bertolak dari kekhawatiran itu, kata Kepala Desa Karanglo
Yudi Kusnandar, para petani sepakat mencari solusi bersama.
Mengubah sikap
Guna memperbaiki kesejahteraan petani, Pemerintah Desa
Karanglo bersama Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) mengembangkan model
pemberdayaan masyarakat di sektor pertanian, dengan konsep Desa Mandiri
Berbasis Pertanian.
YIS merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bermitra
dengan PT Tirta Investama, produsen air mineral kemasan bermerek Aqua.
Menurut Direktur Pembangunan Berkelanjutan Danone Aqua
Yan Brault, perusahaan tak bisa tinggal diam melihat kenyataan hidup petani
Karanglo yang sulit. Mereka ingin memberikan kontribusi dalam peningkatan
pendapatan petani.
Denny Tri Haryanto, pendamping petani Karanglo dari YIS,
mengatakan, langkah awal kegiatan adalah membentuk Gapoktan Tani Mulyo pada 25
Januari 2009.
Salah satu komitmen bersama yang direalisasikan adalah
mengubah sikap dan kesadaran petani, yakni tidak bergantung pada pupuk produksi
pabrik dan pupuk kimia. Mereka mencoba
mengembangkan pupuk organik untuk kebutuhan sendiri.
Keuntungan mengolah pupuk organik dinikmati bersama.
Dengan harga jual pupuk Rp 450 per kilogram, diperoleh keuntungan Rp 75 per
kilogram
Dari lahan percontohan 3.200 meter persegi, kini luas
tanaman padi yang menggunakan pupuk organik telah mencapai 7 hektar. Pada musim
tanam gadu 2010 dipastikan menjadi 25 hektar dan tahun 2012 ditargetkan semua
lahan di Karanglo telah menjadi pertanian padi semiorganik.
Untuk membuat pupuk organik, bahan baku tidak sulit
didapat. Dari kotoran ternak yang ada di Desa Karanglo dihasilkan 1 ton pupuk
per hari. Dari sampah organik dihasilkan 8 ton pupuk organik per hari.
Selain itu, dari kotoran sapi peternak Desa Jimus, yang
bertetangga dengan Karanglo, dapat diolah menjadi 3 ton pupuk per hari. Bahan
baku juga didapat dari limbah industri suun di Desa Benda, Klaten.
Kini, kenaikan HET pupuk bersubsidi seharusnya bisa
menjadi momentum untuk meyakinkan petani beralih ke pupuk organik. Tidak hanya
karena nilai ekonomisnya, tetapi juga demi pertanian yang lestari.
Sumber : Kompas, 19 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar